Pengguna Narkotika: Haruskah Dipenjara atau Dikirim ke Pusat Rehabilitasi? — Persimpangan Hukum dan Realitas di Indonesia

1. Pengantar: Sebuah Pertanyaan Sosial yang Harus Dijawab

Di Indonesia, narkotika sudah lama bukan sekadar barang terlarang dalam arti hukum. Ia adalah persoalan multidimensi yang menyangkut kesehatan, sosial, dan hak asasi manusia. Setiap kali berita menampilkan judul “pengguna narkoba ditangkap”, pertanyaan publik selalu sama: apakah mereka harus dipenjara, atau justru lebih baik ditempatkan di pusat rehabilitasi?

2. Hukum dan Kebijakan: Jalur Ganda antara Penjara dan Rehabilitasi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebenarnya memberikan jawaban ganda. Di satu sisi, ia mengkriminalisasi pengguna narkotika. Namun di sisi lain, undang-undang ini juga menegaskan kewajiban pengguna untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Dengan kata lain, hukum tidak sepenuhnya mendorong pengguna ke penjara, tetapi membuka jalan menuju pemulihan.

Arah kebijakan ini bukan sekadar teori. Pada April 2025, sebuah laporan menegaskan bahwa dalam kerangka KUHP baru, pemerintah mendorong “keadilan restoratif” sehingga lebih banyak pengguna narkotika akan dikirim ke pusat rehabilitasi, bukan otomatis dipenjara. Disebutkan bahwa kapasitas resmi lapas di Indonesia hanya 140 ribu orang, sementara jumlah narapidana telah melebihi 270 ribu, dan lebih dari separuhnya terkait narkotika. (Antara News, 8 April 2025)

3. Penjara: Efek Jera atau Siklus Buruk?

Pihak yang mendukung pemenjaraan menilai bahwa penjara memiliki efek jera dan mengirim pesan “zero tolerance” kepada masyarakat. Bagi pelaku yang merangkap sebagai pengedar atau penyelundup, penjara memang wajar.

Namun, pertanyaannya: apakah memenjarakan semua pengguna benar-benar menyelesaikan masalah? Faktanya, banyak narapidana masih bisa mengakses narkotika di dalam lapas. Bahkan, beberapa mantan napi mengaku justru “belajar cara baru berhubungan dengan narkoba di dalam penjara”. Dengan kondisi over kapasitas, fungsi rehabilitasi dalam lapas menjadi tidak optimal.

4. Rehabilitasi: Melihat Pengguna sebagai Pasien, Bukan Sekadar Penjahat

Rehabilitasi menawarkan jalan berbeda. Pendekatan ini melihat pengguna sebagai pasien dengan masalah kesehatan, bukan hanya pelanggar hukum. Pusat rehabilitasi memberikan layanan medis, konseling, pelatihan keterampilan, serta dukungan sosial untuk membantu mereka pulih dan kembali ke masyarakat.

Hal ini juga ditegaskan oleh pernyataan resmi. Pada Oktober 2025, Kepala BNN menyatakan bahwa “pengguna narkoba berhak untuk direhabilitasi, bukan otomatis dipenjara.” Ia menekankan bahwa rehabilitasi adalah jalan menuju produktivitas, bukan penjara. (Antara News, 14 Oktober 2025)

Selain itu, pada Mei 2025, BNN menegaskan bahwa pengguna yang secara sukarela melaporkan diri untuk rehabilitasi tidak akan dituntut secara pidana. (INP Polri, Mei 2025)

5. Kasus Nyata: Bagaimana Pengadilan Memilih Rehabilitasi

Contoh nyata terlihat dalam kasus Troy Smith di Bali pada 2024. Warga Australia ini awalnya terancam dakwaan pengedaran dengan ancaman hukuman seumur hidup karena memiliki sedikit metamfetamin. Namun, setelah evaluasi, ia dikategorikan sebagai pengguna, bukan pengedar. Pengadilan kemudian menjatuhkan putusan enam bulan rehabilitasi di pusat rehabilitasi narkoba di Bali, bukan penjara. (Adelaide Now, 2024)

Kasus ini menunjukkan bahwa jalur “rehabilitasi sebagai pengganti penjara” benar-benar dipraktikkan dalam sistem hukum Indonesia.

6. Dari Realitas Menuju Pilihan: Keseimbangan yang Sulit

Indonesia kini berada di persimpangan. Ketakutan publik terhadap narkoba mendorong sikap keras, tetapi fakta over kapasitas lapas memaksa pemerintah mencari jalan lain.

Jawaban terbaik tampaknya adalah pendekatan berbeda: pengguna murni diarahkan ke rehabilitasi, sedangkan pelaku yang terlibat peredaran tetap dipenjara.

7. Penutup: Menemukan Titik Tengah antara Hukum dan Kemanusiaan

Bagi seorang praktisi hukum, inti persoalan ini adalah keseimbangan antara penegakan hukum dan aspek kemanusiaan. Penjara menekankan efek jera, sementara rehabilitasi menekankan penyembuhan.

Seperti dikatakan BNN: “Negara hadir bukan untuk menghukum, tetapi untuk membantu.” Maka, masa depan kebijakan narkotika Indonesia mestinya bukan sekadar “memasukkan ke penjara”, tetapi memberikan respon hukum yang lebih cerdas dan manusiawi.