Tahun: 2025

Queen Law Firm: Mitra Terpercaya untuk Investasi Asing di Indonesia

Memasuki pasar Indonesia merupakan peluang besar, tetapi sering kali juga menghadirkan tantangan tersendiri. Regulasi hukum yang dinamis, kompleksitas perizinan impor, pengelolaan pajak, serta penyesuaian dengan kebijakan lokal bukanlah hal yang mudah diatasi tanpa keahlian yang tepat. Queen Law Firm hadir untuk memastikan langkah Anda sebagai investor asing di Indonesia berjalan efisien, lancar, dan terlindungi secara hukum.

 

Mengapa Anda Memerlukan Queen Law Firm?

Sebagai investor asing, Anda pasti menghadapi berbagai pertanyaan penting:

  • Bagaimana mendirikan Perusahaan Modal Asing (PMA) secara sah, efisien, dan bebas hambatan?
  • Apa yang harus Anda lakukan jika produk yang Anda impor ke Indonesia terkena pembatasan kuota atau regulasi teknis tertentu?
  • Bagaimana cara Anda memperoleh restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara cepat dan aman?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi fokus utama kami. Tim ahli kami yang terdiri dari profesional hukum korporasi, fiskal, bea cukai, dan perpajakan siap membantu Anda menjawab setiap tantangan dengan solusi yang praktis dan strategis.

 

Dukungan Penuh untuk Pendirian dan Operasional PMA Anda

Queen Law Firm memahami bahwa proses pendirian PMA tidak hanya sebatas legalitas administratif. Kami membantu Anda mulai dari tahap paling awal: menentukan struktur badan usaha yang tepat, komposisi saham ideal, hingga pemilihan kode KBLI yang tepat sesuai dengan sektor bisnis Anda.

Kami memastikan bahwa setiap tahap pendirian perusahaan Anda memenuhi semua persyaratan hukum terbaru, termasuk pemenuhan ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal, UU Cipta Kerja, dan sistem Online Single Submission (OSS-RBA). Tujuan kami sederhana: memastikan bisnis Anda terlindungi secara hukum, sehingga Anda dapat fokus mengembangkan bisnis tanpa khawatir tentang risiko hukum di masa depan.

 

Ahli Dalam Navigasi Aturan Impor dan Kuota

Impor barang tertentu ke Indonesia, seperti struktur penyangga panel surya (solar mounting structure), sering kali menghadapi hambatan berupa kuota atau rekomendasi teknis khusus dari kementerian terkait. Queen Law Firm telah berpengalaman dalam membantu investor asing untuk mengidentifikasi dengan tepat Harmonized System Code (HS Code) produk mereka.

Mengapa ini penting? Karena ketepatan klasifikasi HS Code menentukan tarif bea masuk, perlakuan pajak, hingga apakah barang Anda dikenakan pembatasan atau bebas masuk pasar Indonesia. Tim kami akan memberikan riset regulasi yang akurat, konsultasi langsung ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta dukungan hukum dalam mendapatkan rekomendasi teknis dari kementerian terkait, seperti Kementerian Perindustrian maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

 

Strategi Restitusi PPN yang Cepat dan Aman

Salah satu tantangan utama bagi PMA adalah mengelola restitusi PPN atas transaksi impor dan perdagangan lokal. Di Queen Law Firm, kami memiliki tim ahli pajak yang memahami secara mendalam tata cara restitusi PPN berdasarkan regulasi terbaru, khususnya PMK No. 209/PMK.03/2021. Kami memastikan Anda bisa mendapatkan restitusi secara optimal dan aman secara hukum.

Kami akan membantu Anda:

  • Melakukan persiapan dokumen pajak secara lengkap dan benar.
  • Memastikan kepatuhan pelaporan SPT Masa PPN yang tepat waktu.
  • Mengelola administrasi restitusi PPN melalui sistem elektronik DJP dengan efisien.
  • Menghindari risiko pemeriksaan dan sanksi administrasi akibat kelalaian dalam pengelolaan PPN.

 

Pendampingan Jangka Panjang yang Strategis

Queen Law Firm bukan hanya sekadar firma hukum yang membantu Anda di awal pendirian. Kami hadir sebagai mitra strategis yang memberikan pendampingan hukum jangka panjang. Kami menyediakan audit hukum berkala, konsultasi strategis dalam perencanaan ekspansi bisnis, serta dukungan dalam menghadapi perubahan regulasi yang dinamis.

Kami percaya bahwa keberhasilan investasi Anda di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh besarnya modal atau kualitas produk, melainkan juga oleh strategi legal dan fiskal yang tepat sejak awal.

 

Bermitra dengan Queen Law Firm: Langkah Awal Kesuksesan Bisnis Anda

Kami memahami bahwa setiap bisnis memiliki keunikan sendiri. Oleh karena itu, kami menawarkan pendekatan yang personal, responsif, dan berbasis solusi. Jangan biarkan kompleksitas regulasi dan perpajakan menjadi hambatan bisnis Anda di Indonesia.

Hubungi kami hari ini untuk konsultasi awal secara gratis. Tim kami siap memberikan analisis dan rekomendasi awal yang akan membantu Anda membuat keputusan bisnis dengan percaya diri dan terlindungi secara hukum.

Dengan Queen Law Firm, investasi Anda di Indonesia bukan lagi sekadar peluang, tetapi sebuah kesuksesan yang pasti.

Belajar Dari Kasus PT U: Cara Selamat Dari Jerat Investasi Futures di Indonesia

Beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin akrab dengan istilah futures atau perdagangan berjangka. Ada yang mengenalnya sebagai instrumen investasi modern, ada juga yang menganggapnya seperti jalan pintas menuju kaya raya. Tidak sedikit pula yang pertama kali mendengarnya dari tawaran teman atau iklan di media sosial.JERAT INVESTASI FUTURES.

Namun, di balik citra menggiurkan itu, banyak cerita pahit. Salah satunya datang dari kasus PT U- sebuah perusahaan pialang berjangka yang sempat beroperasi resmi, tetapi akhirnya dibekukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan masuk proses likuidasi. Banyak masyarakat yang merasa tertipu, kehilangan tabungan, bahkan sampai stres karena dana mereka hilang begitu saja.

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapa pun. Justru sebaliknya, kita belajar dari kasus PT U untuk mengedukasi publik: apa itu futures, bagaimana cara melindungi diri dari risiko, dan apa yang bisa dilakukan jika sudah terlanjur menjadi korban.

Apa Itu Futures dan Mengapa Berisiko Tinggi?

Secara sederhana, futures adalah kontrak perdagangan yang memperjanjikan jual beli suatu komoditi atau instrumen keuangan di masa depan, dengan harga yang ditentukan sekarang. Di Indonesia, futures diatur oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2011.

Bappebti adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi, mirip seperti OJK dalam sektor keuangan. Perusahaan pialang berjangka harus terdaftar dan berizin resmi dari Bappebti.

Namun, penting dipahami: futures bukan tabungan, bukan deposito, dan bukan investasi dengan bunga pasti. Ia adalah instrumen berisiko tinggi (high risk high return). Artinya, peluang keuntungan ada, tapi potensi rugi juga besar. Karena itu, sangat keliru bila ada pihak yang menjanjikan keuntungan tetap atau “pasti untung”.

Pelajaran dari Kasus PT U

Kasus PT U menjadi pelajaran berharga. Banyak nasabah yang menyetorkan dana tidak melalui mekanisme resmi, melainkan lewat rekening pihak tertentu atau skema yang dijanjikan “lebih menguntungkan”. Sebagian besar juga tidak menandatangani dokumen standar yang diwajibkan Bappebti.

Akibatnya, saat PT U masuk proses likuidasi, banyak nasabah tidak diakui sebagai nasabah resmi. Klaim mereka ditolak, karena menurut hukum, hanya dana yang masuk ke rekening segregasi resmi yang dilindungi.

Apa itu rekening segregasi? Sesuai Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2018, setiap nasabah wajib memiliki rekening terpisah (segregated account). Dana nasabah tidak boleh bercampur dengan dana operasional perusahaan. Prinsipnya mirip dengan rekening escrow: uang hanya boleh digunakan untuk transaksi sah dan tercatat.

Sayangnya, ketidaktahuan masyarakat dimanfaatkan. Akhirnya, ketika perusahaan tutup, dana yang disetor di luar mekanisme resmi dianggap tidak ada dalam sistem.

Risiko Nyata yang Mengintai Nasabah

Kasus PT U menunjukkan beberapa risiko fatal yang bisa menimpa masyarakat:

  1. Kehilangan Hak Klaim
    Dana yang tidak masuk ke rekening segregasi otomatis tidak diakui. Sehingga meskipun ada bukti transfer, posisi hukum nasabah jadi lemah.
  2. Kerugian Finansial Total
    Tidak sedikit korban yang kehilangan seluruh modalnya. Padahal uang tersebut hasil kerja keras bertahun-tahun.
  3. Sulit Menggugat Pengurus
    Tanpa dokumen resmi, sangat sulit membawa kasus ke pengadilan. Bukti transaksi pribadi sering dianggap tidak cukup kuat.
  4. Trauma Psikologis
    Banyak korban yang akhirnya enggan berinvestasi lagi, bahkan mengalami gangguan mental karena merasa tertipu.

Bagaimana Cara Melindungi Diri?

Supaya tidak terjebak, masyarakat bisa mengambil langkah-langkah pencegahan berikut:

  • Cek Legalitas
    Pastikan perusahaan pialang berjangka benar-benar terdaftar di website resmi Bappebti. Jangan hanya percaya pada brosur atau testimoni.
  • Gunakan Rekening Segregasi
    Jangan pernah menyetor uang ke rekening pribadi pihak tertentu. Minta agar dibuatkan rekening segregasi atas nama sendiri sesuai peraturan.
  • Tandatangani Dokumen Standar
    Sesuai Peraturan Bappebti No. 4 Tahun 2020, setiap nasabah wajib menandatangani perjanjian standar. Dokumen ini menjadi dasar hukum utama bila terjadi sengketa.
  • Hindari Janji Keuntungan Tetap
    Ingat: futures adalah instrumen spekulatif. Kalau ada yang menjanjikan “pasti untung”, itu tanda bahaya.
  • Laporkan Penyimpangan
    Jika menemukan indikasi pelanggaran, segera laporkan ke Bappebti atau kepolisian.

Edukasi Publik Sebagai Benteng Utama

Perlindungan hukum saja tidak cukup jika masyarakat tidak paham risikonya. Oleh karena itu, edukasi publik sangat penting. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Literasi Keuangan Sejak Dini
    Masyarakat harus paham bahwa investasi berbeda dengan menabung. Investasi selalu ada risiko.
  2. Kampanye Regulator Lebih Gencar
    Bappebti tidak hanya mengumumkan daftar perusahaan resmi, tetapi juga perlu aktif memberikan edukasi tentang modus-modus penipuan.
  3. Transparansi Produk
    Perusahaan pialang wajib menjelaskan risiko dengan bahasa sederhana, bukan hanya angka-angka teknis.
  4. Kolaborasi dengan Akademisi dan Advokat
    Universitas, firma hukum, dan asosiasi profesi bisa membuat modul edukasi untuk masyarakat.
  5. Sistem Peringatan Dini
    Indonesia bisa meniru negara lain yang punya daftar early warning perusahaan bermasalah agar masyarakat lebih waspada.

Dengan edukasi yang konsisten, masyarakat tidak hanya pintar memilih investasi, tapi juga tahan terhadap bujuk rayu penipu.

Kalau Sudah Jadi Korban, Apa yang Bisa Dilakukan?

Bagi yang sudah terlanjur dirugikan, masih ada jalan, meskipun tidak mudah. Beberapa opsi hukum yang bisa ditempuh:

  1. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
    Dasarnya adalah Pasal 1365 KUH Perdata. Jika bisa dibuktikan ada kelalaian atau perbuatan melawan hukum dari pengurus perusahaan, nasabah bisa menuntut ganti rugi.
  2. Gugatan Penyalahgunaan Keadaan
    Dalam beberapa kasus, hakim bisa mempertimbangkan bahwa nasabah ditipu karena ketidaktahuannya dimanfaatkan. Doktrin ini dikenal dalam praktik hukum perdata, meski tidak selalu mudah dibuktikan.
  3. Laporan Pidana
    Jika ada indikasi penipuan atau penggelapan, korban bisa melapor dengan dasar Pasal 378 KUHP (penipuan) atau Pasal 372 KUHP (penggelapan).
  4. Class Action
    Jika jumlah korban banyak, bisa ditempuh mekanisme gugatan kelompok (class action) untuk memperkuat posisi hukum.

Memang hasilnya tidak selalu menjamin uang kembali. Tapi upaya hukum penting sebagai bentuk perlawanan agar pelaku tidak bebas begitu saja.

Refleksi dari Kasus PT U

Kasus PT U memperlihatkan dua sisi sekaligus. Di satu sisi, ada regulasi yang sebenarnya sudah cukup baik, mulai dari kewajiban rekening segregasi hingga pengawasan Bappebti. Di sisi lain, ada celah besar karena masyarakat belum disiplin dan masih mudah tergiur janji manis.

Inilah mengapa kasus PT U harus jadi cermin. Kita tidak bisa hanya menyalahkan regulator atau perusahaan. Nasabah pun punya kewajiban untuk kritis, cermat, dan taat prosedur.

Penutup

Futures trading sah di Indonesia dan bisa menjadi instrumen investasi yang legal. Tapi sah saja tidak cukup. Risiko selalu ada, bahkan bisa fatal jika masyarakat tidak disiplin.

Belajar dari kasus PT U, ada tiga pesan penting:

  1. Pencegahan lebih murah daripada penyembuhan.
    Jangan tergoda janji manis, selalu cek legalitas, dan gunakan rekening segregasi.
  2. Edukasi publik harus diperkuat.
    Hanya dengan literasi yang baik masyarakat bisa lebih tahan dari modus penipuan.
  3. Jangan diam kalau dirugikan.
    Gunakan jalur hukum: gugatan PMH, penyalahgunaan keadaan, laporan pidana, atau class action.

Dengan pemahaman yang benar, kita bisa membalik kasus PT U menjadi pelajaran berharga agar masyarakat Indonesia dan Internasional lebih terlindungi di masa depan. Futures bukan untuk ditakuti, tapi juga bukan untuk dijadikan jebakan. Semua kembali pada disiplin hukum dan kesadaran kita bersama.

Retainer Hukum: Investasi Strategis Bagi PMA di Indonesia

1. Pendahuluan

Bagi investor asing yang membangun atau mengembangkan bisnis di Indonesia, tantangan terbesar sering kali bukan sekadar modal atau pasar, melainkan kemampuan memahami dan mematuhi hukum serta regulasi yang kompleks.

Indonesia memiliki sistem hukum yang unik – gabungan undang-undang nasional, peraturan daerah, hingga kebijakan sektoral yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Bagi Perusahaan Modal Asing (PMA), pendampingan hukum yang konsisten bukan hanya membantu memenuhi kewajiban legal, tetapi juga menjadi penentu kelancaran operasional. Salah satu cara paling efektif adalah melalui jasa retainer hukum.

2. Apa Itu Retainer Hukum dan Mengapa Penting untuk PMA?

Retainer hukum adalah bentuk kerja sama jangka panjang antara perusahaan dan firma hukum, di mana perusahaan membayar biaya tetap (bulanan atau tahunan) untuk mendapatkan layanan hukum sesuai cakupan yang disepakati.

Bagi PMA, ini sama artinya dengan memiliki divisi legal eksternal yang selalu siap mendampingi – dari tahap pendirian, operasional, hingga penanganan sengketa.

Manfaat utama retainer hukum bagi PMA antara lain:

  • Kepastian hukum sejak awal: Struktur perusahaan, komposisi saham sesuai Positive Investment List, perizinan berusaha melalui OSS-RBA, dan izin sektoral dikawal sejak awal.
  • Pendampingan operasional berkelanjutan: Review kontrak, pemantauan regulasi baru, nasihat hubungan industrial, hingga penyelesaian sengketa preventif.
  • Penyusunan dan pembaruan Peraturan Perusahaan (PP): Retainer memastikan PP disusun sesuai UU Ketenagakerjaan/UU Cipta Kerja dan disahkan oleh Dinas Ketenagakerjaan. Ini penting untuk melindungi kepentingan perusahaan sekaligus memberi kepastian bagi karyawan.
  • Efisiensi biaya: Lebih hemat dibanding mempekerjakan tim legal internal penuh waktu, karena biaya retainer sudah mencakup akses ke tim pengacara berpengalaman di berbagai bidang hukum.
  • Konsistensi dan pemahaman mendalam: Retainer mengenal karakter, pola transaksi, dan strategi perusahaan, sehingga saran hukum yang diberikan tepat sasaran.

3. Dua Cerita, Dua Hasil: Perjalanan PMA di Indonesia

Bayangkan dua perusahaan modal asing yang memulai bisnis di sektor sama, dengan modal dan rencana serupa.

Perbedaannya hanya satu:

  • Perusahaan A menggunakan jasa retainer hukum sejak sebelum berdiri.
  • Perusahaan B memilih mengurus urusan hukum sendiri dan hanya mencari pengacara saat ada masalah.

 (1) Babak Awal: Pendirian

Perusahaan A dibimbing sejak awal: struktur usaha sesuai aturan investasi asing, dokumen hukum rapi, izin terbit tepat waktu, dan Peraturan Perusahaan (PP) disusun sejak awal untuk mengatur hubungan kerja secara jelas.

Perusahaan B tersendat. Proses perizinan berulang kali ditolak, dokumen tidak sesuai format, dan PP tidak dibuat sehingga menimbulkan kebingungan internal. Pendirian molor berbulan-bulan.

 (2) Babak Pertumbuhan: Operasional

Perusahaan A meninjau semua kontrak melalui tim retainer, mematuhi regulasi baru, dan memperbarui Peraturan Perusahaan (PP) setiap dua tahun agar selalu sesuai hukum. Saat ada perselisihan dengan pemasok, masalah selesai lewat negosiasi preventif.

Perusahaan B terjebak dalam kontrak distribusi yang merugikan karena tidak diperiksa ahli hukum. Peraturan Perusahaan (PP) baru dibuat setelah Dinas Tenaga Kerja melakukan pemeriksaan, memaksa perusahaan menyesuaikan aturan internal di tengah jalan.

(3) Babak Krisis: Ujian Nyata

Tiga tahun kemudian, Perusahaan A menghadapi sengketa besar. Berkat arsip dokumen tertata dan Peraturan Perusahaan (PP) yang jelas, strategi penyelesaian cepat disiapkan oleh tim retainer. Kesepakatan damai tercapai tanpa merusak hubungan bisnis.

Perusahaan B baru mencari pengacara setelah masalah membesar. Dokumen tidak lengkap, PP tidak memadai, dan proses penyelesaian memakan waktu dan biaya besar.

(4) Pelajaran dari Dua Perusahaan

Kisah ini menunjukkan bahwa perbedaan hasil tidak ditentukan oleh modal atau produk, melainkan oleh perencanaan hukum dan konsistensi pendampingan.

Perusahaan A, memandang retainer hukum sebagai investasi strategis untuk:

  • Melindungi bisnis sejak awal.
  • Menangani risiko dengan cepat.
  • Menghemat biaya dibanding membentuk divisi legal internal.

Perusahaan B, yang menunda urusan hukum, justru membayar harga lebih mahal – baik secara finansial maupun reputasi.

4. Layanan Umum dalam Retainer PMA

Retainer hukum untuk PMA biasanya mencakup:

(1) Pendampingan perizinan – pengurusan izin baru dan pembaruan.

(2) Penyusunan dan review kontrak domestik maupun internasional.

(3) Penyusunan, revisi, dan pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

(4) Nasihat hukum ketenagakerjaan dan penanganan perselisihan hubungan industrial.

(5) Perlindungan kekayaan intelektual (merek dagang, paten, desain industri).

(6) Kepatuhan perpajakan, termasuk optimalisasi insentif fiskal bagi investor asing.

(7) Strategi penyelesaian sengketa melalui litigasi dan non-litigasi.

5. Kesimpulan: Memilih Retainer, Memilih Keamanan Bisnis

Dalam dunia usaha yang bergerak cepat dan penuh tantangan, apalagi di pasar kompleks seperti Indonesia, retainer hukum bukan sekadar penyedia jasa, melainkan mitra strategis jangka panjang.

Dengan biaya yang terukur, PMA mendapatkan:

  • Keamanan hukum sejak awal.
  • Panduan dalam mengelola hubungan kerja melalui PP yang sah dan jelas.
  • Respons cepat saat menghadapi masalah.
  • Ketenangan untuk fokus pada pertumbuhan bisnis.

Retainer hukum memastikan perusahaan tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga siap menangkap peluang dan menghindari jebakan yang tidak terlihat.
Pertanyaannya bukan lagi “Apakah kita memerlukan retainer hukum?”, melainkan “Seberapa siap kita menghindari risiko sejak awal?”.

Orang Asing dan Jerat Pidana di Indonesia: Mengapa Anda Membutuhkan Penasihat Hukum Lokal yang Mengerti Bahasa Anda

Di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia dan semakin terbukanya pasar terhadap investasi dan tenaga kerja asing, jumlah warga negara asing yang tinggal atau bekerja di Indonesia pun terus meningkat. Namun, di balik peluang tersebut, tidak sedikit warga asing yang justru tersandung masalah hukum pidana, baik karena ketidaktahuan akan sistem hukum Indonesia, kesalahan administratif, maupun menjadi korban skema penipuan atau kriminalisasi.

Sebagai firma hukum yang telah mendampingi banyak klien asing, Queen Law Firm menyadari bahwa kebutuhan paling mendasar bagi warga asing yang sedang berhadapan dengan masalah hukum adalah penasihat hukum lokal yang dapat memahami secara mendalam sistem hukum Indonesia dan sekaligus mampu berkomunikasi dalam bahasa ibu klien, termasuk bahasa Mandarin.

I. Jerat Pidana yang Paling Sering Menimpa Warga Negara Asing

Dalam pengamatan kami, terdapat sejumlah kategori tindak pidana yang paling banyak menyeret warga negara asing, baik sebagai tersangka maupun korban. Berikut adalah penjelasan beberapa jenis pidana yang paling sering terjadi:

1. Pelanggaran Keimigrasian

Ini merupakan pelanggaran yang paling umum. Banyak WNA ditangkap karena:

  • Overstay (melebihi izin tinggal)
  • Penyalahgunaan visa (misalnya visa wisata digunakan untuk bekerja atau berbisnis)
  • Masuk atau keluar wilayah Indonesia tanpa dokumen resmi

Pelanggaran keimigrasian diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan dapat dikenakan sanksi administratif (denda, deportasi) hingga pidana penjara.

2. Tindak Pidana Narkotika

Indonesia dikenal memiliki kebijakan zero tolerance terhadap narkotika. Banyak WNA, bahkan tanpa kesengajaan, dijerat karena:

  • Membawa barang bawaan yang ternyata mengandung narkotika
  • Menjadi kurir tanpa menyadari isi barang yang dibawa
  • Mengonsumsi obat tertentu yang di negaranya legal, tetapi tergolong narkotika di Indonesia

UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menetapkan hukuman berat, bahkan hukuman mati, terhadap pelanggaran tertentu, terutama untuk penyelundupan atau peredaran gelap.

3. Penipuan dan Skema Investasi Ilegal

Warga asing kadang menjadi korban penipuan, tetapi dalam beberapa kasus justru dilaporkan balik oleh mitra bisnisnya dengan tuduhan:

  • Penggelapan dana
  • Penipuan dalam kerja sama investasi
  • Melanggar izin usaha atau bidang usaha terbatas

Dalam hukum pidana Indonesia, hal-hal ini sering dikonstruksikan melalui Pasal 378 KUHP (Penipuan) atau Pasal 372 KUHP (Penggelapan).

4. Kekerasan dan Perselisihan Pribadi

WNA juga dapat terseret kasus:

  • Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
  • Perkelahian
  • Penganiayaan ringan
  • Tuduhan pelecehan seksual, yang kadang dipicu perbedaan budaya dan tafsir

Tanpa pemahaman konteks budaya dan prosedur hukum Indonesia, kasus ini dapat menjadi sangat rumit dan berisiko tinggi terhadap reputasi serta kebebasan pribadi WNA.

5. Pelanggaran Etika atau Moralitas Publik

Undang-Undang di Indonesia, termasuk KUHP dan Perda daerah, masih mengenal delik yang berkaitan dengan:

  • Perzinahan
  • Perbuatan cabul
  • Pelanggaran kesusilaan di ruang publik

Beberapa WNA tidak menyadari bahwa gaya hidup atau kebiasaan sosial yang normal di negara asalnya bisa dianggap pelanggaran hukum di Indonesia.

II. Mengapa WNA Rentan Terjerat Pidana di Indonesia?

Ada beberapa alasan utama mengapa WNA rentan terjerat hukum pidana:

1. Ketidaktahuan Terhadap Hukum Lokal

Banyak WNA yang tidak mendapatkan informasi hukum yang jelas atau akurat sebelum datang ke Indonesia. Perbedaan sistem hukum antara negara asal dan Indonesia sering kali menimbulkan kesalahpahaman yang fatal.

2. Hambatan Bahasa dan Budaya

Dalam praktik, proses hukum dilakukan seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Tidak adanya penerjemah atau penasihat hukum yang fasih dalam bahasa klien dapat menyebabkan salah tafsir atau tidak maksimalnya pembelaan hukum.

3. Salah Langkah Saat Diperiksa Aparat

Tidak sedikit WNA yang tanpa didampingi penasihat hukum saat diperiksa, padahal mereka berhak untuk didampingi. Hal ini sering berujung pada pengakuan yang tidak sesuai atau penandatanganan dokumen tanpa memahami konsekuensinya.

4.  Aspek Administratif yang Rumit dan Dinamis

Peraturan imigrasi, izin usaha, dan perpajakan di Indonesia berubah cukup cepat. Ketidaksesuaian administratif bisa saja dikategorikan sebagai tindak pidana bila tidak ditangani dengan benar.

III. Mengapa Anda Butuh Penasihat Hukum Lokal (dan yang Fasih Bahasa Mandarin)

Berhadapan dengan sistem hukum pidana Indonesia memerlukan strategi hukum yang tepat, komunikasi yang lancar dengan pihak penegak hukum, dan perlindungan maksimal terhadap hak-hak hukum Anda. Inilah alasan pentingnya menunjuk penasihat hukum lokal yang kompeten dan mengerti bahasa Anda.

Queen Law Firm hadir sebagai solusi hukum bagi Anda, warga negara asing, dengan keunggulan berikut:

  • Tim advokat berlisensi dan berpengalaman dalam hukum pidana serta pendampingan WNA
  • Staf hukum dan penerjemah resmi yang fasih berbahasa Mandarin, sehingga Anda bisa memahami proses hukum secara utuh
  • Pendekatan yang komunikatif dan strategis, tidak hanya menunggu proses, tetapi aktif melakukan langkah hukum yang proaktif demi kepentingan hukum Anda
  • Jaringan komunikasi yang luas dengan institusi hukum dan pemerintah, sehingga mampu menjembatani berbagai proses yang melibatkan Kejaksaan, Kepolisian, Imigrasi, atau Lapas

IV. Proses Penanganan: Apa yang Kami Lakukan?

Saat klien asing menghadapi permasalahan pidana, Queen Law Firm akan:

1. Melakukan identifikasi dan asesmen awal kasus

Menganalisis secara objektif fakta hukum dan menilai urgensi penanganan.

2. Menyusun strategi hukum dan pendampingan aktif

Termasuk menghadiri pemeriksaan polisi, menyusun pembelaan, dan mengawal proses hingga putusan.

3. Mendampingi komunikasi dengan keluarga atau pihak Kedutaan Besar

Menjaga komunikasi yang baik dan legal antara klien dengan perwakilan negaranya.

4. Mengajukan upaya hukum lanjutan jika diperlukan

Seperti eksepsi, pledoi, banding, atau bahkan peninjauan kembali.

V. Penutup: Lindungi Diri Anda dengan Konsultan Hukum yang Tepat

Sistem hukum pidana Indonesia memiliki karakter tersendiri, dan sering kali berbeda jauh dengan sistem hukum di negara asal Anda. Itulah mengapa menghadapi permasalahan hukum tanpa penasihat hukum lokal merupakan keputusan yang sangat berisiko.

Jika Anda atau rekan Anda adalah WNA yang sedang menghadapi proses hukum di Indonesia, atau ingin mencegah risiko sejak awal, Queen Law Firm siap membantu Anda. Hubungi kami dan dapatkan perlindungan hukum terbaik dengan bahasa yang Anda pahami.

Investasi Asing di Indonesia: Panduan Praktis untuk Mendirikan Perusahaan Modal Asing dengan Sederhana

Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi besar dalam bidang investasi. Berbagai reformasi hukum dan penyederhanaan perizinan telah membuka peluang baru bagi investor asing untuk menanamkan modalnya dengan lebih mudah, aman, dan strategis. Artikel ini menyajikan garis besar panduan praktis dalam mendirikan Perusahaan Modal Asing (PMA) berdasarkan hukum positif terbaru di Indonesia, disarikan dari eBook eksklusif yang disusun oleh tim Queen Law Firm.

A. Mengapa Indonesia?

Indonesia bukan hanya pasar yang besar – dengan lebih dari 275 juta penduduk dan pertumbuhan kelas menengah yang cepat – tetapi juga negara dengan orientasi kuat terhadap pertumbuhan investasi. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja dan peluncuran sistem OSS-RBA (Online Single Submission – Risk Based Approach), pemerintah secara nyata menampilkan komitmen terhadap penyederhanaan birokrasi dan peningkatan kepastian hukum.

Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2024 menembus Rp 744 triliun, mencerminkan kepercayaan investor global. Sektor-sektor seperti manufaktur teknologi, energi baru dan terbarukan, logistik digital, dan kesehatan swasta menjadi magnet utama.

B. Struktur Hukum yang Harus Dipahami Investor

Untuk mendirikan PMA, investor wajib memahami kerangka hukum yang melandasinya:

  • UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan aset bagi investor asing.
  • UU Cipta Kerja dan turunannya, yang menyederhanakan perizinan melalui OSS-RBA dan mengubah pendekatan dari Daftar Negatif Investasi ke Daftar Positif Investasi (DPI).
  • Peraturan sektoral, yang tetap perlu diperhatikan untuk bidang-bidang tertentu seperti energi, kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan.

 Pilihan Bentuk Usaha

PMA umumnya berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berbasis modal asing, dengan ketentuan modal minimum Rp10 miliar dan modal disetor awal Rp2,5 miliar. Alternatif lain adalah mendirikan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA), yang tidak diperbolehkan melakukan aktivitas komersial tetapi dapat melakukan promosi, riset, dan pengawasan.

Lokasi dan KBLI

Pemilihan lokasi usaha wajib sesuai dengan RDTR dan memiliki KKPR. Sektor usaha juga harus dicocokkan dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang benar agar proses perizinan melalui OSS tidak ditolak.

C. Sistem OSS-RBA: Praktis Tapi Tidak Boleh Ceroboh

OSS-RBA merupakan sistem terpusat berbasis risiko. Setiap sektor usaha diklasifikasikan menjadi risiko rendah, menengah, menengah-tinggi, atau tinggi—yang menentukan jenis izin yang diperlukan.

Meskipun OSS dapat diakses langsung oleh pelaku usaha, banyak investor asing menghadapi kendala seperti:

  • Kesalahan pengisian KBLI.
  • Input data tidak sinkron dengan akta.
  • Kebutuhan izin tambahan dari kementerian sektoral.

Dalam praktiknya, pendampingan profesional hukum membantu memastikan kelancaran dan akurasi legalitas.

D. Jangan Lewatkan Insentif dan Fasilitas Pemerintah

Indonesia menawarkan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal, antara lain:

  • Tax Holiday hingga 20 tahun.
  • Tax Allowance sebesar 30% dari nilai investasi.
  • Pembebasan bea masuk dan PPN tidak dipungut.
  • Kemudahan penggunaan tenaga kerja asing dan percepatan izin dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Syarat utama memperoleh insentif adalah kesesuaian sektor usaha dengan prioritas nasional dan kelengkapan dokumen yang valid.

E. Risiko Hukum dan Kewajiban yang Tidak Boleh Diabaikan

Setelah perusahaan berdiri, PMA wajib:

  • Melaporkan LKPM  (Laporan Kegiatan Penanaman Modal) secara berkala.
  • Mematuhi ketentuan tenaga kerja asing.
  • Melengkapi perizinan lingkungan dan zonasi.
  • Taat perpajakan dan transfer pricing.
  • Menghindari penggunaan struktur nominee yang dilarang.

Risiko seperti kesalahan KBLI, status tanah tidak sah, atau perjanjian bisnis yang lemah bisa berujung pada batalnya izin atau sengketa hukum.

F. 7 Tips Penting Bagi Investor Asing

  1. Cek DPI (Daftar Prioritas Investasi) dan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang sesuai sektor.
  2. Pilih lokasi yang sesuai RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang).
  3. Siapkan struktur modal dan saham sejak awal.
  4. Validasi semua dokumen hukum sebelum masuk OSS.
  5. Gunakan notaris dan penerjemah resmi.
  6. Laporkan LKPM (Laporan Kegiatan Penanaman Modal) tepat waktu dan secara konsisten.
  7. Konsultasikan insentif sejak tahap perencanaan, seperti Tax Holiday, Tax Allowance, atau fasilitas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), agar tidak kehilangan hak yang tersedia..

G. Kapan Anda Perlu Bantuan Profesional?

Meski OSS-RBA dirancang untuk diakses publik, kerumitan teknis, variasi aturan sektoral, dan pentingnya strategi legal membuat banyak investor asing menggunakan jasa firma hukum korporasi untuk pendampingan penuh. Pendampingan hukum yang tepat bukan hanya menjamin patuh hukum, tetapi juga mempercepat waktu peluncuran usaha dan memperkuat posisi investor secara strategis.

Queen Law Firm hadir sebagai mitra hukum terpercaya untuk investor asing yang ingin menjejakkan kaki di pasar Indonesia secara sah, aman, dan efisien. Dengan pengalaman luas dalam menangani PMA lintas sektor, kami membantu menavigasi proses legal yang kompleks menjadi lebih sederhana dan berorientasi hasil.

Hubungi kami untuk konsultasi awal yang bersifat non-sitasi. Kami bantu Anda menetapkan arah yang tepat sebelum Anda berinvestasi lebih jauh.

Pentingnya Sertifikasi Halal di Indonesia dan Peran Kunci Profesional Hukum

Dengan pertumbuhan pesat pasar konsumen Muslim secara global, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memegang posisi strategis dalam industri produk halal. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan peraturan pelaksanaannya membentuk kerangka hukum nasional yang mengatur sertifikasi halal secara sistematis. Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, Pemerintah Indonesia mempercepat penerapan kewajiban sertifikasi halal, menjadikannya sebagai “persyaratan masuk” utama bagi banyak pelaku usaha.

I. Sertifikasi Halal: Bukan Sekadar Kepatuhan, tetapi Keunggulan Kompetitif

Bagi pelaku usaha di sektor makanan, minuman, kosmetik, farmasi, bahan kimia, produk fashion, jasa logistik hingga katering, memperoleh sertifikasi halal bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga strategi bisnis yang menentukan. Label halal di Indonesia adalah simbol keyakinan konsumen, jaminan mutu, dan pemenuhan aspek keagamaan. Sertifikasi halal meningkatkan daya saing merek, memperluas pangsa pasar, dan membangun loyalitas konsumen Muslim.

Selain itu, sistem halal Indonesia berlaku secara ekstrateritorial: produk yang diproduksi di luar negeri tetapi dipasarkan di Indonesia tetap wajib memenuhi ketentuan halal nasional. Artinya, perusahaan asing yang tidak siap dengan regulasi halal Indonesia dapat menghadapi penolakan pasar, penarikan produk, bahkan sanksi administratif.

II. Peran Vital Profesional Hukum dalam Proses Sertifikasi Halal

Meskipun aspek teknis sertifikasi dijalankan oleh BPJPH dan lembaga pemeriksa halal (LPH) yang terakreditasi, kehadiran profesional hukum sangat penting dalam keseluruhan strategi kepatuhan. Peran pengacara tidak hanya terbatas pada konsultasi, melainkan juga mencakup intervensi langsung pada titik-titik krusial sebagai berikut:

1. Penyusunan Struktur Kepatuhan dan Identifikasi Risiko

Pengacara membantu membangun sistem manajemen halal dari hulu ke hilir, termasuk telaah kontrak rantai pasok, perjanjian distribusi, serta dokumen pengadaan bahan baku agar selaras dengan prinsip halal, sekaligus mengidentifikasi potensi risiko hukum.

2. Penghubung dengan Otoritas Regulasi

Sertifikasi halal melibatkan komunikasi intensif dengan BPJPH, LPPOM MUI, serta kementerian teknis terkait. Pengacara yang memahami hukum dan prosedur administrasi Indonesia dapat bertindak sebagai jembatan antara perusahaan dan regulator, memastikan proses berjalan lancar dan efisien.

3. Verifikasi Dokumen dan Terjemahan Hukum

Proses sertifikasi memerlukan dokumen hukum yang lengkap, mulai dari pernyataan kepatuhan, SOP, komposisi produk, hingga diagram proses produksi. Pengacara tidak hanya menelaah keabsahan dokumen, tetapi juga menyediakan terjemahan hukum yang sesuai standar regulator.

4. Penanganan Sengketa dan Upaya Administratif

Jika permohonan sertifikasi ditolak atau ditunda, pengacara memiliki kapasitas untuk menempuh upaya hukum, termasuk keberatan administratif, banding, atau strategi litigasi jika diperlukan.

III. Pengalaman Praktis Queen Law Firm: Dukungan Menyeluruh dari Pra-Sertifikasi hingga Pascakepatuhan

Sebagai firma hukum lintas negara yang telah lama aktif di pasar Indonesia, Queen Law Firm telah sukses mendampingi berbagai perusahaan asing dari Tiongkok, Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Jerman dalam memperoleh sertifikasi halal di Indonesia. Kami memahami bahwa setiap klien memiliki struktur bisnis dan budaya kepatuhan yang unik, sehingga kami selalu mengedepankan pendekatan layanan hukum yang khusus dan disesuaikan.

Layanan kami tidak hanya mencakup fase pra-sertifikasi, tetapi juga pengelolaan pascakepatuhan: mulai dari pembaruan regulasi, perubahan rantai pasok, hingga pendampingan saat pemeriksaan pasar atau tindakan administratif. Tujuan kami adalah memaksimalkan nilai bisnis dari kepatuhan halal secara berkelanjutan.

Penutup

Dalam konteks pertumbuhan nilai ekonomi halal global, sertifikasi halal di Indonesia bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan tiket strategis untuk memasuki dan menguasai pasar ASEAN. Dalam proses kompleks antara kepatuhan dan peluang ini, keterlibatan profesional hukum secara sistematis adalah fondasi utama bagi perusahaan untuk beroperasi secara sah, efisien, dan berdaya saing.

Queen Law Firm, sebagai mitra hukum yang berpengalaman di Indonesia, akan terus memberikan solusi strategis, cepat, dan andal dalam pendampingan sertifikasi halal — mendukung klien menapaki peta ekonomi halal global dengan percaya diri.

Masalah Penggelapan dalam Jabatan di Perusahaan Swasta Indonesia: Analisis Hukum dan Solusi Melalui Jalur Hukum

I. Pendahuluan

Dalam perkembangan dunia usaha di Indonesia, penggelapan dalam jabatan telah menjadi salah satu risiko utama dalam tata kelola perusahaan swasta. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh karyawan atau pihak manajemen yang, karena jabatannya, memiliki akses terhadap aset atau keuangan perusahaan, lalu menyalahgunakannya untuk keuntungan pribadi.

Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak integritas internal dan kepercayaan dalam perusahaan. Oleh karena itu, penyelesaian melalui jalur hukum yang tepat dan didampingi oleh penasihat hukum profesional menjadi sangat penting.

II. Definisi Hukum dan Dasar Peraturan

1. Dasar Hukum Pidana

Tindak pidana penggelapan dalam jabatan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya:

  • Pasal 374 KUHP:

    “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

    Dengan kata lain, jika seseorang melakukan penggelapan karena jabatannya dalam perusahaan, ia dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 (lima) tahun.

  • Jika tindakan tersebut melibatkan penipuan, pemalsuan dokumen atau manipulasi laporan keuangan, maka pelaku juga dapat dijerat dengan:

    • Pasal 378 KUHP (Penipuan)

    • Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Surat)

2. Tanggung Jawab Perdata

Selain pidana, pelaku juga dapat digugat secara perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perusahaan dapat menuntut pengembalian aset dan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.

III. Bentuk Umum Penggelapan dalam Jabatan

Beberapa bentuk penggelapan yang sering terjadi di perusahaan swasta Indonesia antara lain:

  • Pengambilan kas perusahaan oleh staf keuangan;

  • Mark-up nilai kontrak dan penggelapan selisihnya oleh manajemen;

  • Pemungutan pembayaran dari klien yang tidak disetorkan ke perusahaan;

  • Penggelapan barang dengan manipulasi data gudang atau inventaris;

  • Penyaluran aset atau keuntungan perusahaan ke pihak afiliasi tanpa otorisasi.

IV. Dampak Hukum dan Risiko bagi Perusahaan

1. Konsekuensi Hukum

  • Pidana penjara maksimum 5 tahun (Pasal 374 KUHP);

  • Perintah pengembalian aset atau pembayaran ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan;

  • Pembatasan jabatan di masa depan bagi pelaku, khususnya dalam industri keuangan atau jabatan fiduciary.

2. Risiko bagi Perusahaan

  • Kerugian finansial langsung;

  • Krisis kepercayaan internal antara manajemen dan staf;

  • Penurunan reputasi di mata investor, mitra, dan regulator;

  • Risiko hukum tambahan jika perusahaan dinilai lalai dalam pengawasan internal.

V. Jalur Hukum: Pentingnya Peran Pengacara

Dalam menghadapi kasus penggelapan dalam jabatan, perusahaan tidak disarankan hanya menyelesaikan secara internal atau kekeluargaan. Penanganan yang profesional melalui pengacara sangat penting untuk perlindungan hukum yang optimal. Peran pengacara meliputi:

1. Investigasi dan Pengumpulan Bukti

Pengacara dapat membantu perusahaan melakukan investigasi hukum secara sah, mengumpulkan bukti berupa dokumen, laporan transaksi, rekaman email, CCTV, atau data elektronik yang valid secara hukum.

2. Analisis Risiko dan Pendapat Hukum

Berdasarkan bukti yang tersedia, pengacara akan menilai apakah terdapat unsur pidana dan memberikan pendapat hukum terkait kelayakan pelaporan pidana atau gugatan perdata.

3. Tindakan Hukum: Pelaporan dan Gugatan

  • Laporan pidana ke Kepolisian (Polri) disusun secara profesional, disertai kronologi, bukti, dan pasal-pasal hukum yang relevan;

  • Gugatan perdata dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk menuntut ganti rugi dan pengembalian aset perusahaan;

  • Pengacara juga akan mewakili perusahaan dalam seluruh proses hukum, dari penyidikan hingga persidangan.

4. Komunikasi dengan Regulator

Jika kasus berdampak pada laporan pajak, kepatuhan bea cukai, atau sektor-sektor yang diawasi OJK/BPK/BKPM, pengacara dapat menjadi jembatan komunikasi agar perusahaan tetap berada dalam koridor hukum.

5. Evaluasi dan Rekomendasi Tata Kelola

Setelah kasus ditangani, pengacara dapat menyusun laporan evaluasi dan memberi masukan konkret dalam bentuk Legal Opinion atau Compliance Report untuk mencegah pengulangan kasus serupa.

VI. Penutup

Penggelapan dalam jabatan merupakan tindak pidana serius yang harus ditangani secara hukum. Bagi perusahaan swasta di Indonesia, penyelesaian cepat dan tegas melalui jalur hukum, dengan pendampingan pengacara profesional, merupakan langkah paling efektif untuk:

  • Melindungi aset perusahaan,

  • Menegakkan akuntabilitas,

  • Menunjukkan komitmen pada tata kelola yang baik (GCG),

  • Serta mencegah timbulnya risiko hukum sekunder.

Pentingnya Legal Due Diligence dalam Perilaku Investasi Perusahaan

Dalam konteks ekonomi global, aktivitas investasi perusahaan semakin sering terjadi, mencakup berbagai bentuk seperti merger, joint venture, dan investasi ekuitas. Namun, investasi sering kali disertai dengan risiko hukum, yang jika tidak dievaluasi dengan cermat dapat menyebabkan kerugian ekonomi atau bahkan sengketa hukum. Oleh karena itu, due diligence hukum (Legal Due Diligence, disingkat “LDD”) memainkan peran yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan investasi perusahaan.

I. Konsep Legal Due Diligence

Due diligence hukum adalah proses di mana pihak investor, sebelum mengambil keputusan investasi, melakukan pemeriksaan sistematis dan menyeluruh terhadap aspek hukum perusahaan target melalui tim hukum profesional. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan potensi risiko hukum. Due diligence hukum biasanya mencakup aspek-aspek seperti struktur tata kelola perusahaan, struktur kepemilikan saham, kewajiban kontraktual, hak kekayaan intelektual, hubungan ketenagakerjaan, litigasi, dan kepatuhan terhadap regulasi.

II. Pentingnya Legal Due Diligence

1. Mengidentifikasi Risiko Hukum dan Menjamin Keamanan Investasi

Dalam transaksi investasi, perusahaan target mungkin memiliki risiko hukum tersembunyi, seperti kewajiban keuangan yang tidak diungkapkan, litigasi yang sedang berlangsung, atau kewajiban kontraktual yang belum dipenuhi. Due diligence hukum membantu investor dalam mengidentifikasi risiko-risiko ini sehingga mereka dapat membuat keputusan investasi yang lebih bijak dan menghindari kerugian akibat cacat hukum.

2. Mengevaluasi Kepatuhan dan Mengurangi Tanggung Jawab Hukum

Setiap negara dan wilayah memiliki regulasi hukum yang berbeda-beda, sehingga investor harus memastikan bahwa operasi perusahaan target mematuhi semua ketentuan yang berlaku. Misalnya, peraturan terkait antimonopoli, perlindungan lingkungan, privasi data, dan ketenagakerjaan dapat berdampak signifikan pada bisnis. Due diligence hukum memungkinkan investor untuk memastikan bahwa perusahaan target telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku sehingga dapat menghindari sanksi akibat pelanggaran hukum.

3. Mengoptimalkan Struktur Transaksi dan Meningkatkan Keuntungan Investasi

Melalui due diligence hukum, investor dapat mengidentifikasi kelemahan hukum dalam perusahaan target dan menegosiasikan langkah-langkah perbaikan dengan pihak penjual. Misalnya, investor dapat meminta penyesuaian harga transaksi, jaminan tambahan, atau klausul kompensasi untuk mengurangi risiko, sehingga struktur transaksi menjadi lebih optimal dan keuntungan investasi meningkat.

4. Menjamin Pelaksanaan Kontrak dan Mencegah Sengketa

Due diligence hukum tidak hanya membantu dalam mengevaluasi risiko transaksi tetapi juga memastikan bahwa perjanjian investasi dapat dilaksanakan dengan efektif. Misalnya, aspek seperti keabsahan kontrak, keberlakuan perjanjian pemegang saham, dan kepemilikan hak kekayaan intelektual harus diklarifikasi melalui due diligence hukum untuk mengurangi potensi sengketa di masa mendatang.

5. Meningkatkan Reputasi Perusahaan dan Mendukung Pertumbuhan Jangka Panjang

Bagi perusahaan, menjalani due diligence hukum tidak hanya meningkatkan transparansi dan kepercayaan investor, tetapi juga membantu dalam perbaikan tata kelola internal serta meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi. Hal ini dapat menciptakan peluang yang lebih baik bagi perusahaan untuk memperoleh pendanaan, melakukan IPO, atau menjalani proses merger dan akuisisi di masa depan.

III. Cara Melakukan Legal Due Diligence yang Efektif

Agar due diligence hukum berjalan dengan efektif, perusahaan dapat mengambil langkah-langkah berikut:

  1. Menyewa Tim Profesional: Mempekerjakan firma hukum berpengalaman atau konsultan hukum untuk memastikan pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh dan akurat.
  2. Menentukan Ruang Lingkup Pemeriksaan: Menyesuaikan cakupan due diligence berdasarkan sifat transaksi dan karakteristik industri perusahaan target, dengan fokus pada aspek seperti kepatuhan keuangan, hak kekayaan intelektual, dan risiko perpajakan.
  3. Mengumpulkan Dokumen Kunci: Termasuk anggaran dasar perusahaan, perjanjian pemegang saham, kontrak bisnis, sertifikat hak kekayaan intelektual, dan catatan litigasi untuk menilai risiko hukum secara komprehensif.
  4. Melakukan Pemeriksaan Lapangan: Selain meninjau dokumen, perlu dilakukan pemeriksaan langsung di lokasi guna memastikan bahwa operasi perusahaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  5. Menyusun Opini Hukum: Tim hukum harus memberikan laporan hasil due diligence yang mencakup evaluasi risiko dan rekomendasi tindakan mitigasi bagi investor.

Kesimpulan

Due diligence hukum merupakan elemen penting dalam proses investasi perusahaan. Manfaatnya tidak hanya terbatas pada identifikasi risiko hukum, tetapi juga mencakup optimasi struktur transaksi, peningkatan keuntungan investasi, kepatuhan hukum, dan peningkatan reputasi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum melakukan investasi, perusahaan harus memberikan perhatian serius terhadap due diligence hukum dengan dukungan tim hukum profesional guna memastikan pengambilan keputusan yang matang dan berkelanjutan.

The Evolution and Practical Innovation of Indonesian Limited Liability Company Law: Reflections and Prospects from a Global Perspective

(Artikel ini telah diterbitkan pada 11 Februari 2025 di World Wide Journal of Multidisciplinary Research and Development, Vol. 11, No. 02.)

The Evolution and Practical Innovation of Indonesian Limited Liability Company Law:
Reflections and Prospects from a Global Perspective

 Guan Yue, Eni Oktaviani

Abstract

This paper examines the evolution and practical innovation of Indonesian Limited Liability Company Law, highlighting its historical development, current challenges, and prospects in a globalized and digital economy. Tracing the origins of limited liability company laws from Dutch colonial influence to modern reforms, the study explores key milestones, including the enactment of pivotal legislation and digital transformation initiatives such as the Online Single Submission system. The paper also analyzes the integration of Corporate Social Responsibility (CSR) and Environmental, Social, and Governance (ESG) compliance into corporate practices, reflecting global sustainability trends. Despite notable advancements, challenges persist in legal implementation, corporate governance, and support for small and medium enterprises (SMEs). The findings underscore the necessity for ongoing reforms to enhance efficiency, transparency, and alignment with international standards while addressing Indonesia’s unique socio-economic context. This research provides theoretical insights and policy recommendations to strengthen Indonesia’s limited liability company framework, fostering sustainable economic growth and global competitiveness.

Keywords: Indonesian Limited Liability Company Law, Digital Transformation in Legal Systems, Globalization and Corporate Law, Legal Innovation.

 

  1. Introduction

Indonesia, as the largest economy in Southeast Asia, plays an increasingly crucial role in promoting investment and economic growth through its Limited Liability Company Law. As the legal foundation for economic development, the Limited Liability Company Law not only attracts foreign investment and protects investor rights but also drives the growth of local businesses and optimizes market conditions. However, with the rapid development of globalization and the digital economy, traditional legal frameworks are increasingly exposed to limitations and lagging behind. To maintain the distinctive features of the local legal system while enhancing its flexibility and global competitiveness has become an important issue in the development of Indonesian Limited Liability Company Law.

In recent years, Indonesia has made significant strides in attracting foreign investment and supporting local businesses. However, challenges such as low efficiency in law enforcement and regional development imbalances continue to constrain the full potential of companies. For instance, while the introduction of online registration systems has improved the convenience of business registration, their reach and effectiveness remain limited in remote areas. Furthermore, international investors are raising higher demands for the transparency and consistency of Indonesia’s legal system, further highlighting the urgency of legal reforms.

This article aims to systematically review the historical evolution and practical development of Indonesian Limited Liability Company Law, analyze the actual effectiveness and limitations of current legal implementation, and explore the direction and path for future reforms of Indonesian Limited Liability Company Law. It aims to provide theoretical support and policy recommendations for the improvement of its legal system and economic development.

  1. Methods

This study employed a multidisciplinary approach to analyze the evolution and innovations in Indonesian Limited Liability Company Law. The research methods included:

2.1          Literature Review Method

A comprehensive review of primary and secondary sources was conducted. Primary sources included Indonesian legal texts, historical legislation such as the Dutch Commercial Code, and contemporary laws like the “Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies.” Secondary sources included academic journals, legal commentaries, and government reports.

2.2          Case Studies Method

Key case studies were analyzed to understand the practical application of limited liability company laws in areas such as digital transformation, corporate governance, and CSR initiatives. Cases from major corporations like PT Pertamina and SMEs were included.

2.3          Data Analysis Method

Quantitative data from government databases, such as the Indonesia Investment Coordinating Board (BKPM), and reports on the Online Single Submission (OSS) system were analyzed to assess the efficiency of reforms.

The combination of these methods ensured a holistic understanding of the topic, integrating historical perspectives, practical applications, and policy implications.

  1. Results & Discussion

3.1 History and Evolution of Indonesian Limited Liability Company Law

3.1.1 Early Beginnings: Dutch Colonial Influence

The establishment of Indonesian Limited Liability Company Law can be traced back to the Dutch colonial period. During this time, the Dutch East India Company (Dutch: Vereenigde Oostindische Compagnie / VOC) played a central role in administrative and trade policies. The Dutch East India Company (VOC), founded in 1602, was one of the earliest forms of corporate entities as regulated by Dutch law. During the Dutch colonial period, VOC, as a primitive form of company organization, monopolized trade activities in Indonesia. This long-standing monopoly indicates that VOC already possessed the basic elements of modern business and corporate governance. The legal framework governing such entities was primarily based on the Dutch Commercial Code (Dutch: Het Koopmansrecht) applicable to VOC activities.

When Indonesia became a Dutch colony, Dutch commercial law, including company law, continued to influence the region. The Dutch Civil Code (Dutch: Burgerlijk Wetboek), enacted in 1838, established legal structures such as partnerships and companies, which were adapted to meet the needs of colonial trade and governance.

In 1848, the Indonesian Commercial Code (Indonesian: Kitab Undang-undang Hukum Dagang / KUHD, Dutch: Wetboek van Koophandel), a special law separate from the Dutch Civil Code, was compiled and implemented in the colonies. The Indonesian Commercial Code specifically regulated business and trade matters, including company law, negotiable instruments law, maritime law, etc. Initially, the Indonesian Commercial Code applied only to Europeans. Indigenous populations and other foreigners each adhered to their own customary laws. Nonetheless, over time, the application of the Indonesian Commercial Code expanded to the Chinese population, while other foreigners, such as Arabs and Indians, continued using their traditional customary laws.

However, specifically regarding laws related to business, difficulties arise when the customary laws of each group are applied, due to the following reasons:

  1. The customary laws of each group are highly diverse;
  2. The customary laws of each group are very unclear; and
  3. In business life, interactions often occur without regard to the group of the population, leading to inter-group laws that are naturally perceived as complicated for the business [1].

To address these issues, the authorities designed a legal system known as the “subordination principle”, which allowed one party to choose to adhere to another party’s legal system, thus simplifying legal conflicts between different ethnic groups. The Dutch colonial government applied the Indonesian Commercial Code based on the principle of concordance [2]. Based on this principle, individuals were allowed to freely establish a legal entity known as the “Public Limited Company (Dutch: Naamloze Vennootschap)”, which is the precursor to modern limited liability companies. This marked the official birth of limited liability companies in Indonesia.

During this period, the characteristics of the legal framework governing limited liability companies included high thresholds for business establishment, complex approval processes, and strict corporate governance structures. The legal legacy from the colonial era provided a framework for subsequent limited liability company laws, but also introduced legal complexities and inadequacies in meeting modern economic needs. The legal system from this period not only affected business at the enterprise level but also contributed to long-term centralization issues in the socio-economic structure, making it difficult for local businesses to access resources.

3.1.2 Post-Independence: The Birth of Indonesian Limited Liability Company Law

After Indonesia declared its independence in 1945, the new government faced the urgent task of establishing a sovereign economic system. The existing Dutch colonial laws, including the Commercial Code and Civil Code, continued to apply, but their content could no longer meet the social and economic development needs of post-independence Indonesia. To address this, the government adopted a dual strategy: maintaining certain aspects of the colonial legal structure to avoid abrupt legal disruptions, while gradually reforming to establish a legal framework that would better suit local needs and international conditions.

A significant milestone in the development of the Indonesian Limited Liability Company Law came with the enactment of “Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment”. This law marked a departure from Dutch colonial practices, with a focus on self-reliance and prioritizing control over economic resources after Indonesia’s independence. The core content and significance of this law include:

  1. Regulation of Foreign Investment

The law allowed foreign capital to establish businesses in Indonesia, but under specific conditions, including government approval and restrictions from investing in key sectors such as energy, infrastructure, and agriculture.

  1. Priority of National Interest

The law emphasized economic independence and resource control, aiming to reduce dependency on foreign economic powers and protect local enterprises and resources.

  1. Attraction of Foreign Technology and Capital

While prioritizing national interests, the law still provided a legal framework for attracting foreign capital, aimed at acquiring necessary technology and funds to boost local economic development.

In the early post-independence period, the focus of the Limited Liability Company Law was to encourage state involvement in the economy. “Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment” allowed foreign investors to enter Indonesia under specific conditions, but it also emphasized national interests, particularly in sectors deemed crucial to the nation. Key reform points included:

  1. Lowering Capital Requirements

Recognizing that many small and medium-sized enterprises (SMEs) struggled to meet the previously high capital requirements, the government lowered the thresholds, encouraging more local enterprises to register as limited liability companies and expand local economic participation.

  1. Clear Definition of Company Types

This marked the first systematic definition of different company forms, particularly limited liability companies (Indonesian: Perseroan Terbatas / PT). The core characteristic of limited liability companies is that shareholders’ liability is limited to their investment, making it easier to attract investors and distribute risk.

  1. Regulation of Shareholder and Board Rights and Obligations

Shareholders hold decision-making power, while daily business management is handled by the board of directors. This division improved corporate governance efficiency. The rights and obligations of the board, including financial reporting, legal responsibility, and transparency, were clearly defined.

The enactment of “Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment” achieved significant results:

  1. Promoting Local Enterprise Development

The new law lowered barriers for SMEs to engage in the economy, enabling more businesses to formalize and promoting rapid growth in Indonesian enterprises.

  1. Modern Legal Framework

The introduction of limited liability company law laid the groundwork for modern corporate governance, providing institutional support for local businesses competing both domestically and internationally.

Despite the successes, the early legal reforms faced challenges:

  1. Inefficient Implementation

The implementation of the law relied heavily on manual processes, lacking electronic support and technical infrastructure. The lengthy processes for company registration, approvals, and regulatory oversight impacted overall efficiency.

  1. Limited Foreign Investment Appeal

While the law permitted foreign investment, many sectors were still restricted due to protectionist policies, which dampened interest from global investors.

  1. Incomplete Regulatory Mechanism

The government lacked effective oversight and enforcement capacity, leading to instances where some businesses did not fully comply with the new regulations, or even exploited loopholes. Additionally, initial reforms lacked technical support, making enforcement dependent largely on manual operations, thus reducing efficiency.

After Indonesia’s independence, the initial establishment of the Limited Liability Company Law reflected the urgent need for economic development and legal modernization. “Law Number 1 of 1967 concerning Foreign Investment” attracted foreign capital, fostered local enterprise development, and established modern corporate governance systems, laying a foundation for Indonesia’s long-term economic growth. However, the technological and institutional shortcomings of the early reforms provided lessons for future legal enhancements. During this period, the limited liability company law embodied the nation’s drive for economic self-reliance and also paved the way for more comprehensive legal modernization in subsequent years.

3.1.3 Reform Era: Liberalization and Modernization (1990s-2000s)

Towards the close of the 20th century, Indonesia faced significant challenges in political and economic transformation. Following the fall of the Suharto regime, the country began a series of reforms aimed at achieving economic liberalization, attracting foreign investment, and improving corporate governance structures. These reforms primarily focused on enhancing transparency, strengthening accountability, and optimizing business management frameworks to align with global trends and international standards. Notably, in 1995, the government introduced a major reform in the area of limited liability companies with the enactment of “Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies”.

In 1995, Indonesia issued the new Limited Liability Company Law, known as “Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies”. This law aimed to modernize corporate structures, especially concerning the operation of limited liability companies. Its core principle was the separation of ownership and management, intended to enhance board independence and transparency. The law required clear distinctions between the rights and responsibilities of the board and shareholders, enabling the board to make independent decisions with reduced direct shareholder intervention. The new law introduced the concept of state-owned enterprises (Indonesian: Badan Usaha Milik Negara / BUMN) and regional enterprises (Indonesian: Badan Usaha Milik Daerah / BUMD), where the government holds partial or full ownership. This aimed to ensure government involvement while also encouraging enterprises to operate in a more transparent and standardized manner. The Indonesian Limited Liability Company Law began aligning more closely with international standards, including requirements for corporate governance, shareholder meetings, and defined responsibilities of boards.

To further support and consolidate these corporate governance reforms, the Indonesian government established the Financial Services Authority (Indonesian: Otoritas Jasa Keuangan / OJK) in 2011. Article 6 of “Law Number 21 of 2011 concerning Financial Services Authority” states the duties of OJK, including:

  1. financial services activities in the banking sector;
  2. financial services activities in the capital market sector;
  3. financial services activities in the insurance, pension funds, financing institutions, and other financial services institutions sectors.

Despite these reforms achieving some progress, challenges remain in their practical implementation:

  1. Lack of Transparency and Efficiency

Although an online registration system has been introduced, many businesses still need to provide supplementary paper materials, making the registration process lengthy and complex. The reliance on paper documents adds time and administrative burdens, slowing down business startups.

  1. Policy Implementation Gaps

While laws require transparency and accountability, implementation remains lagging in certain areas. In particular, at the local government level, regulatory enforcement is often weak, leading to ineffective corporate governance practices.

  1. Information Asymmetry

Some businesses, especially SMEs, lack clear communication and understanding of the new laws, hindering their ability to successfully adapt to the regulatory environment.

During the latter part of the 20th century, Indonesia’s introduction of “Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies”, along with the establishment of Financial Services Authority in 2011, aimed to improve corporate governance, enhance transparency, and attract foreign investment. However, while reforms have made some headway, challenges like lack of transparency, inefficient execution, and information asymmetry persist in their practical application.

3.1.4 Latest Developments and Trends

Following the foundation of “Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies”, Indonesia introduced a new “Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies” in 2007. This law aimed to further improve corporate governance structures, enhance transparency, and specifically address the rights of minority shareholders, the board of directors, and the rights of various stakeholders.

  1. Strengthening Corporate Governance

The new law clearly defined the structure of the board of directors, the operation of shareholders’ meetings, and the protection of minority shareholder rights. It built upon the goals of “Law Number 1 of 1995 concerning Limited Liability Companies”, making specific refinements in certain provisions.

  1. Protection of Minority Shareholders

The law emphasized the protection of minority shareholders, addressing deficiencies found in the 1995 legislation. This provision reduces excessive control by majority shareholders, promoting a more balanced power distribution among shareholders.

  1. Integration of Corporate Social Responsibility (CSR)

The 2007 law introduced the concept of Corporate Social Responsibility (CSR) into the Limited Liability Company framework for the first time. This reflects the global business trend towards sustainability, particularly in resource-intensive industries in Indonesia, such as mining, forestry, and energy sectors.

Global sustainability principles have led to the incorporation of CSR requirements into Indonesian Limited Liability Company Law.

  1. Mandatory CSR Requirements in Business Operations

The 2007 law explicitly mandates that companies in specific industries, such as resource extraction and energy, must integrate sustainable development and social responsibility practices. Companies are required to take greater responsibility in fields like environmental protection, community engagement, and social impact.

  1. Balancing Economic, Environmental, and Social Aspects

With Indonesia’s rapid industrialization, urbanization, and globalization, challenges in environmental and social responsibility are prominent, especially in resource-intensive sectors. The 2007 law reflects this shift by requiring companies to not only seek economic benefits but also contribute to environmental and social responsibility.

  1. Aligning with International Standards

The introduction of CSR provisions aligns Indonesian Limited Liability Company Law with international markets and global corporate governance standards, boosting investor confidence and enhancing the competitiveness of companies in international markets.

The development of corporate law in Indonesia is driven not only by globalization trends but also by domestic economic, social, and political factors.

  1. Economic Perspective

Indonesia has undergone economic structural transformation over the past few decades. Rapid industrialization and urbanization have presented new demands on corporate law. Economic changes have led to the diversification of business forms, from traditional family-owned enterprises to modern large-scale corporations, requiring more refined governance structures. Additionally, the expansion of the middle class has heightened societal demands for corporate transparency and responsibility, leading to the introduction of corporate governance and CSR provisions.

  1. Social Perspective

As the middle class emerges, there is a significant increase in societal demand for corporate responsibility and transparency. This has led to stricter regulations in limited liability company law regarding shareholders’ rights, board structure, and corporate social responsibility. Resource-intensive industries, such as forestry, mining, and energy, have significant environmental impacts. Public expectations for companies to perform well in social responsibility and environmental protection have driven the introduction of CSR provisions.

  1. Political Perspective

The Indonesian government, through anti-corruption and legal reforms, has created a more transparent and regulated corporate governance environment. Political stability and anti-corruption measures have strengthened the enforcement of corporate law. Additionally, government-driven policies and anti-corruption initiatives provide a more favorable environment for the practical implementation of limited liability company law, making companies more inclined to adhere to new corporate governance structures and CSR requirements.

The enactment of “Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies” reflects Indonesia’s evolving demands in its economic, social, and political landscape. This law not only strengthens corporate governance structures and protects minority shareholders but also integrates relevant CSR provisions, ensuring that companies contribute to environmental and social responsibility while pursuing economic growth. The evolution of corporate law in Indonesia is shaped by globalization, domestic economic structural transformation, rising social responsibility demands, and government anti-corruption policies, reflecting a profound transformation from colonial, to independence, to modernization.

3.2 Innovations and Practices in the Current Indonesian Limited Liability Company Law

In recent years, with the acceleration of global economic integration, governments around the world have increasingly prioritized adjusting laws and policies to optimize the business environment, drive economic development, and enhance international competitiveness. As a key economic entity in Southeast Asia, Indonesia has actively explored innovations and practices in its Limited Liability Company Law. These reforms not only focus on enhancing corporate operational efficiency while also aim to create a fairer and more transparent market environment by introducing digital tools, optimizing legal support, and strengthening regulations. These measures provide robust support for businesses, particularly small and medium-sized enterprises (SMEs) and foreign-invested enterprises.

3.2.1 Promoting Digital Transformation

Efficiency has become an important standard for evaluating whether a country’s judicial system is scientific and civilized, in addition to justice, in contemporary society [3]. Over the past few years, the Indonesian government has optimized company registration and operational procedures through digital reforms to enhance efficiency and transparency. The primary objectives of information technology and electronic transaction development, including e-commerce, are: to enhance the nation’s intellectual life as a component of the global information society; to develop national trade and economy in order to improve public welfare; to increase the effectiveness and efficiency of public services; to provide the widest opportunities for everyone to advance their thoughts and skills in the optimal and responsible use of information technology; to ensure security, justice, and legal certainty for users and providers of information technology [4].

  1. Online Company Registration

The Online Single Submission (OSS) system, developed by the Ministry of Economic Affairs and the Indonesia Investment Coordinating Board (Indonesian: Badan Koordinasi Penanaman Modal / BKPM), was launched in 2018 to provide one-stop registration services for businesses. The legal basis for this system is “Government Regulation Number 24 of 2018 concerning Integrated Business Licensing Services Electronically”, which defines the structure and functions of the OSS system, including registration, license approval, and post-approval supervision.

Before the execution of the OSS system, the average time to register a new company in Indonesia was 30 days. After the OSS system was introduced, the average time to register a new company was reduced to 7 days or even less. This demonstrates that the OSS system has significantly lowered the time cost for businesses to gain entry into the market, enhancing the efficiency of the country’s economic operations.

According to a report from the BKPM, as of the end of 2023, the Ministry of Investment / BKPM had issued 7,146,105 Business Identification Numbers (Indonesian: Nomor Induk Berusaha / NIB) through the OSS system. The composition of issued NIBs includes 6,887,479 for micro-enterprises, followed by 187,402 for small businesses, 23,350 for medium enterprises, and 47,874 for large businesses. It is significant to highlight that over 2 million NIBs were issued since the second anniversary of the risk-based OSS system in August 2023, compared to 2,461,775 NIBs issued throughout all of 2022 [5]. This means that in the past five months, the number of Business Identification Numbers issued has nearly equaled the total number issued throughout 2022. This significant increase highlights the growing awareness among business actors to formalize their operations, reflecting a boost in trust towards the government. With an internet connection, business actors can now easily process their NIBs from anywhere, eliminating the need to visit the One-Stop Integrated Investment and Licensing Service Office (Indonesian: Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu / DPMPTSP) or interact with multiple officers at different desks.

Of course, online company registration still has many shortcomings. Some small and medium-sized enterprises (SMEs) are unfamiliar with digital tools, resulting in limited system utilization. To help these businesses adapt, the government launched the Digital Technology Adaptation Program, which offers online training courses, free technical support, and community consultation centers to ensure more businesses can effectively use the OSS platform.

Additionally, earlier versions of the OSS platform faced risks such as data breaches and cyberattacks. In 2022, the “Law Number 27 of 2022 concerning Personal Data Protection” was implemented, requiring all government digital platforms to conduct regular security assessments and introduce multi-layer encryption technology to protect user data.

  1. Electronic Shareholders’ Meetings

During the COVID-19 pandemic in 2020, the Indonesian Financial Services Authority (Indonesian: Otoritas Jasa Keuangan / OJK) issued “Regulation of the Financial Services Authority Number 15/POJK.04/2020 of 2020 concerning the Planning and Implementation of General Meetings of Shareholders of Public Companies”. This regulation, for the first occasion, explicitly affirmed the legality of holding shareholders’ meetings via online platforms. It established standards for electronic meeting notifications, voting recordkeeping, and meeting outcomes archiving, ensuring the legal validity and operational integrity of online meetings. Through its participation in the ASEAN electronic governance framework, Indonesia has worked in tandem with other regional countries to advance the digitalization of corporate governance standards, enhancing its global competitiveness.

The implementation of online meetings has significantly facilitated the decision-making processes of multinational corporations and regional enterprises, especially for shareholders across multiple time zones. In Indonesia, numerous companies have convened shareholders’ meetings through the Electronic General Meeting of Shareholders (Indonesian: Elektronik Rapat Umum Pemegang Saham / E-RUPS) system. On June 28, 2021, PT KSEI launched an e-Voting module on the eASY.KSEI platform, incorporating webinar live streaming features to support electronic attendance and proxy granting in general meetings of shareholders [6]. Companies such as Bank Syariah Indonesia, Bank Panin Dubai Syariah, and Bank BJB have published guidelines on their official websites for investor participation in E-RUPS. These cases demonstrate Indonesian companies’ proactive adoption of the E-RUPS system to enhance the efficiency and convenience of shareholders’ meetings.

However, sensitive data transmitted during online meetings, such as voting records and financial reports, faces the risk of unauthorized access. To address this, the government amended “Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions”, introducing stricter data protection measures, including data encryption and access control mechanisms.

Enterprises in remote areas, however, face challenges in participating in online meetings due to insufficient network coverage. The government has formulated various strategies to address these issues, such as the “6 Sustainable Strategies for Digital Infrastructure Development in Indonesia” published by the Parliamentary Analysis Center of the Indonesian Parliament’s Expert Body, the “The Digital Development Horizon of Indonesia 2025-2030” published by the Ministry of Communication and Information, and the “White Paper on the National Strategy for Indonesia’s Digital Economy 2030” by the Faculty of Economics at Jakarta State University. These strategies aim to accelerate nationwide digital infrastructure development, foster digital talent, enhance infrastructure management efficiency, bolster cybersecurity, and promote digital economic growth. Furthermore, they emphasize strengthening coordination and collaboration across sectors and stakeholders to bridge the technological divide.

3.2.2 CSR and ESG Compliance

CSR (Corporate Social Responsibility) refers to the concept where businesses, while pursuing profits, voluntarily assume responsibilities for society and the environment. CSR emphasizes a business practice centered on ethics and sustainable development, requiring companies to focus not only on economic benefits but also on responsibilities toward employees, communities, the environment, and other stakeholders.

ESG (Environment, Social, and Governance) represents the three non-financial factors that businesses prioritize in their operations. These aspects are used to assess a company’s environmental and social responsibility, and they are also essential metrics for investors evaluating a company’s long-term value and risk management capabilities.

The Indonesian Limited Liability Company Law has increasingly emphasized CSR and ESG indicators in recent years. Article 74 of “Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies” stipulates that companies engaged in natural resource sectors or those related to natural resources are mandated to fulfill CSR obligations. CSR must be accounted for as a corporate expense and implemented correctly and fairly. Failure to meet CSR obligations can result in penalties as regulated by law.

“Government Regulation Number 47 of 2012 concerning Social and Environmental Responsibility of Limited Liability Companies” further specifies the details of CSR programs, including budget allocation, implementation methods, and community feedback mechanisms to ensure CSR initiatives go beyond mere formalities.

In recent years, driven by supportive legislation, Indonesian companies have actively engaged in CSR, achieving significant results in environmental protection, social contributions, and governance. Below are some notable examples:

  1. PT Pertamina (Persero)

Through its CSR programs, Pertamina has supported the development of renewable energy by constructing solar power plants (PLTS) for remote villages. A notable project is the PLTS initiative on Pahawang Island, Lampung, which successfully provided electricity access to hundreds of households [7].

  1. PT PLN (Persero)

PLN runs the “Electrified Villages” program aimed at delivering electricity to remote areas. One achievement is the development of co-firing biomass-based power plants, such as at PLTU Rembang, which use agricultural waste as fuel, reducing carbon emissions while empowering local farmers economically [8].

  1. PT Bio Farma (Persero)

Bio Farma actively supports public health through mass vaccination programs across Indonesia, especially during the COVID-19 pandemic. It has also established healthcare training centers to enhance the capacity of medical professionals in remote regions [9].

  1. PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)

IWIP has implemented comprehensive CSR initiatives to improve the economic well-being of communities in North Maluku. Since its establishment in 2018, IWIP has supported various sectors such as education, health, socio-culture, the environment, and local community economic development. The company has provided support for facilities and infrastructure to over 25 schools and Islamic boarding schools, implemented vocational training programs, and offered scholarships from vocational to postgraduate levels. IWIP has also supported health centers with oxygen tanks, constructed hospital wards, and improved healthcare services in the Weda area, including providing ambulances and building inpatient centers. Additionally, IWIP has carried out coral transplantation and mangrove restoration, planting one million mangroves to protect the local ecosystem [10].

  1. MMS Group Indonesia (MMSGI)

MMSGI received a five-star Excellence Award at the 2024 TOP CSR Awards, recognizing its efforts to improve local community quality of life. The company implemented the Paspatambang Clean Water Program, providing clean water resources to communities. It also engaged in rainforest and conservation forest restoration, offered scholarships to support local students, and developed traditional villages like Lung Anai Suku Dayak Kenyah while providing capital support to local MSMEs [11].

With the execution of the Paris Agreement, international investors have increasingly prioritized sustainability in investment decisions, using ESG as a key metric. The Indonesia Stock Exchange (IDX) launched an ESG rating system in 2020, requiring all listed companies to provide detailed ESG performance data. Based on these ratings, companies are granted financing and investment incentives. In 2022, IDX expanded the release of green bonds to attract more companies to fund environmental and social projects. By 2024, the IDX has made significant progress in ESG initiatives and green bonds issuance. IDX continues to promote sustainable investment and support companies practicing ESG principles in their operations. IDX has established a set of ESG standards that must be adhered to by companies wishing to list on the exchange. In 2024, IDX further strengthened the market of green bonds, with many companies using green bonds to finance renewable energy, water-saving, and energy efficiency projects. As of October 2024, the Financial Services Authority (OJK) reported that the value of sustainability-based bonds and sukuk issuance in Indonesia had reached IDR 36.4 trillion [12]. This indicates that Indonesia is continuously supporting the growth of the sustainable investment market.

3.2.3 Support for Small and Medium Enterprises (SMEs) and Startups

Small and Medium Enterprises (SMEs) play a vital role in Indonesia’s economy, and the government, through reforms to the Limited Liability Company Law, provides more support to these enterprises.

  1. Simplification of Registration Process

The “Job Creation Law 2021 (Omnibus Law)” removed the minimum capital requirement for micro and small enterprises and allowed them to complete registration through simplified procedures. “Government Regulation Number 7 of 2021 concerning the Ease, Protection, and Empowerment of Cooperatives and Micro, Small, and Medium Enterprises” further detailed classification standards for micro and small enterprises and provided free consultation services during registration, lowering market entry barriers.

  1. Financing Convenience

The government, in collaboration with financial institutions, has introduced various support policies, including establishing Endowment Fund for Entrepreneurship Indonesia, which offers low-interest loans and equity financing for SMEs and startups. In 2023, the government launched the “Baparekraf for Startup (BEKUP) 2023” program, focusing on innovative tech enterprises, providing interest-free loans and technical support. The Bank Indonesia also lowered loan interest rates, enabling more micro and small enterprises to access business funds at a lower cost.

  1. Training and Guidance

The Ministry of Industry, in collaboration with local educational institutions, launched the Micro, Small, and Medium Enterprises (MSME) Digitalization Program, providing free online tools for enterprises and conducting multi-level skill training. Nationwide innovation and entrepreneurship competitions are held annually, offering funding support and market promotion opportunities for outstanding startup projects.

3.2.4 Legal Support for Foreign Investment

Indonesia actively attracts foreign investment through reforms in the Limited Liability Company Law. Because trade can make everyone’s situation better [13]. The “Job Creation Law 2021 (Omnibus Law)” relaxes foreign ownership restrictions in several industries, allowing up to 100% foreign ownership in sectors such as technology, e-commerce, and renewable energy. “Presidential Regulation Number 49 of 2021 concerning the Amendment to Presidential Regulation Number 10 of 2021 concerning Investment Fields” lists priority sectors open to foreign investment and provides tax incentives and expedited approval services for eligible foreign enterprises. Indonesia has also signed multiple Bilateral Investment Treaties with major economies like Japan, South Korea, and China, ensuring protection for foreign investors in terms of investment rights, tax policies, and dispute resolution. According to the “Law Number 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution”, foreign investors can choose international arbitration institutions to handle disputes with the government or local enterprises.

3.3 Current Key Issues

Although Indonesian Limited Liability Company Law reform has achieved many successes, it still faces key challenges that hinder its effective implementation in economic development, social equity, and globalization.

3.3.1 Lack of Efficiency and Transparency in Legal Execution

Despite the ongoing digital transformation, the enforcement efficiency of Indonesian Limited Liability Company Law remains low. The system coverage has not yet achieved full coverage, particularly in remote areas, where related laws and regulations are difficult to implement swiftly. Additionally, online registration processes remain complex, making it difficult for businesses and individuals to access relevant services.

The lack of digital infrastructure, insufficient technical capacity at the local government level, and fragmented policy execution mechanisms are the main reasons behind low legal execution efficiency. Moreover, the government provides insufficient technical support to remote regions and small enterprises, failing to effectively shorten online service times and processes.

3.3.2 Corporate Governance and Transparency Need Further Strengthening

Although Indonesian Limited Liability Company Law sets standards for information disclosure, many companies do not strictly follow these regulations in practice, and transparency in both financial and non-financial information remains insufficient. The independence and professionalism of corporate boards need further improvement, and conflicts of interest often arise.

The methods of appointing board members, the internal governance structures of companies, and the lack of effective oversight mechanisms are core factors leading to insufficient transparency. Additionally, corporate culture does not fully embrace good governance practices, and there are still constraints from internal interest networks within many companies.

3.3.3 Insufficient Support for SMEs

In Indonesia’s economy, SMEs are the driving force for economic growth. However, SMEs still face numerous challenges in accessing financing, technical support, and market connections. Tax policies have not effectively eased the financial burden on small enterprises, and financing channels remain narrow.

The financial system provides insufficient service coverage for SMEs, with bank loan standards being too strict, making it difficult for small enterprises to obtain long-term and stable financing support. Furthermore, the lack of effective collaboration between the public sector and private capital has hindered the creation of platforms for SME incubation.

3.3.4 Low Level of Internationalization of Law

Indonesian Limited Liability Company Law has a low level of engagement with international legal rules, which affects its attractiveness in global markets. Poor quality translations of the law result in misunderstandings by international investors, leading to inaccurate interpretations of legal provisions.

The government’s capacity and resources to participate in international legal affairs are limited, and translation work has not kept pace with the needs of international investors. Additionally, the business community has a limited understanding of international legal frameworks and lacks effective strategies for international collaboration.

3.3.5 Weak Legal Constraints on Environmental and Social Challenges

Against the backdrop of global sustainable development, Indonesian Limited Liability Company Law needs to better address environmental and social issues. However, legal constraints on businesses regarding pollution control and resource protection remain weak, with a lack of mechanisms to support green economic development.

The enforcement of environmental legal responsibilities is weak, and there are no dedicated environmental courts or enterprise environmental impact assessment mechanisms. Companies lack effective mandatory constraints in environmental governance, which leads to insufficient implementation of sustainable development in many enterprises.

3.4. Future Development Directions and Policy Recommendations

The continuous reform of Indonesian Limited Liability Company Law reflects the values of social justice embedded in Indonesia’s Pancasila ideology – where every law and court decision must embody the spirit of justice. The values of social justice encourage every Indonesian to truly achieve a just and prosperous society, both physically and mentally [14]. Against this backdrop, legal formulation and enforcement not only focus on economic growth but also emphasize promoting fairness, protecting the rights of vulnerable groups, and advancing overall social harmony. Therefore, the Indonesian government, in driving company law reform, must take a social justice perspective. Through policy adjustments, legal innovation, and institutional improvements, the government should ensure that the law genuinely reflects fairness and justice, fostering long-term social stability and sustainable economic development.

3.4.1 Deepen Digital Transformation

Digital reform is the core direction for improving legal implementation efficiency and transparency. In the future, the Indonesian government must ensure expand system coverage, through technical and financial support, to ensure the effective promotion of the OSS system in remote areas. Additionally, the user experience must be optimized, and online registration processes simplified, while providing SMEs with technical training to lower access barriers. Finally, data security should be strengthened by establishing encryption and backup mechanisms to address potential cybersecurity threats.

3.4.2 Strengthen Corporate Governance and Transparency

Good corporate governance is key to attracting international investment and enhancing corporate competitiveness. The Indonesian government should establish mandatory disclosure standards, requiring companies to regularly disclose both financial and non-financial information, including CSR and ESG metrics. Furthermore, the independent director system needs to be improved to enhance board independence and professionalism, preventing conflicts of interest. Finally, corporate culture must be transformed through education and advocacy to increase acceptance and implementation of good governance practices.

3.4.3 Support for SMEs and the Innovation Ecosystem

The development of SMEs is crucial for economic growth. The Indonesian government must ensure expand financing channels by establishing dedicated SMEs development funds and attracting more private capital. Additionally, innovation incubation platforms should be built through public-private sector collaboration, providing startups with technical support and market access. Simplified tax policies should also be introduced to offer tax incentives for small enterprises, easing their financial burdens.

3.4.4 Enhance Legal Internationalization

To enhance integration into global markets, Indonesian Limited Liability Company Law needs further internationalization. The Indonesian government should engage in international rule-making and actively participate in company law framework negotiations within ASEAN and globally to enhance its influence. It should also adopt international best practices and learn from the successful experiences of other emerging economies in legal reform, adjusting local policies accordingly. Finally, the quality of legal translations must be improved to provide international investors with high-quality legal text translations, reducing misunderstandings.

3.4.5 Address Environmental and Social Challenges

Within the framework of global sustainable development, Indonesian Limited Liability Company Law must better address environmental and social issues. The Indonesian government must ensure enhance environmental legal accountability, strengthening legal constraints on companies regarding pollution control and resource protection. Community participation should also be promoted, encouraging businesses to collaborate with local communities to ensure social acceptance and sustainability of projects. Lastly, support for green economies must be provided, offering legal and financial assistance to green technologies and eco-friendly enterprises.

Through these measures, Indonesian Limited Liability Company Law will be better equipped to adapt to changes in the domestic and global economic and social environment, driving long-term national economic development and enhancing global competitiveness.

4 Conclusions

The evolution of Indonesian Limited Liability Company Law has been both a reflection of the nation’s economic transformation and a response to global trends in corporate governance. From its colonial foundations to modern reforms, the legal framework has significantly progressed to support economic growth, foreign investment, and the protection of stakeholder interests. Key innovations such as digital transformation, enhanced corporate governance, CSR integration, and support for SMEs demonstrate Indonesia’s commitment to aligning with international standards while addressing domestic needs.

Despite these advancements, challenges remain, including inefficiencies in legal implementation, limited support for SMEs, and the need for greater transparency and environmental accountability. These challenges underscore the need for ongoing reform and capacity building, enabling the legal framework to effectively address the demands of globalization, digitalization, and sustainable development.

Looking forward, Indonesia must deepen its digital transformation, strengthen governance and transparency mechanisms, and adopt international legal standards to enhance global competitiveness. Order and justice are the ultimate objective of law. And only in stable society will citizens have the interest and opportunity to develop themselves and contribute to life together [15]. Emphasizing social justice, as rooted in Indonesia’s Pancasila ideology, should remain central to these reforms, ensuring that economic progress is inclusive and sustainable. By addressing these priorities, Indonesian Limited Liability Company Law can become a robust foundation for national development and a model for emerging economies worldwide.

5 Acknowledgments

The authors sincerely thank all the members of Queen Law Firm in Jakarta and Bandung, Indonesia.

6 References

  1. Munir Fuady. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Indonesia, 2003, 37.
  2. Hukum Perusahaan. Ghalia Indonesia, Bogor, Indonesia, 2010, 11.
  3. Yue Guan, Eni Oktaviani. Meningkatkan Efisiensi Peradilan Dalam Tata Cara Prosedural Litigasi Perdata Indonesia. Delega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 2021; 6(2): 101-119.
  4. Yue Guan. Fungsi Hukum E-Commerce Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Yang Berkualitas (Studi Perbandingan Hukum E-Commerce Indonesia Dan Tiongkok). Doctoral Dissertation. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Indonesia, 2023, 172.
  5. Tutup Tahun 2023, Tujuh Juta NIB Terbit Melalui OSS. https://www.bkpm.go.id/id/info/siaran-pers/tutup-tahun-2023-tujuh-juta-nib-terbit-melalui-oss. December 30, 2023.
  6. Investor Kini Dapat Ikut RUPS Secara Online. https://www.ksei.co.id/files/uploads/press_releases/press_file/id-id/197_berita_pers_investor_kini_dapat_ikut_rups_secara_online_20210630231205.pdf. June 28, 2021.
  7. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. https://www.pertamina.com/id/tanggung-jawab-sosial-perusahaan. 2020.
  8. Corporate Social Responsibility (CSR). https://web.pln.co.id/sustainability/corporate-social-responsibility-csr. 2025.
  9. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. https://www.biofarma.co.id/id/corporate-social-responsibility. 2025.
  10. PT IWIP Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Program CSR Terintegrasi. https://voi.id/ekonomi/399809/pt-iwip-tingkatkan-kesejahteraan-masyarakat-melalui-program-csr-terintegrasi. July 18, 2024.
  11. MMS Group Indonesia Raih Penghargaan Bergengsi TOP CSR Untuk Kategori Ini. https://voi.id/ekonomi/385364/mms-group-indonesia-raih-penghargaan-bergengsi-top-csr-untuk-kategori-ini. May 29, 2024.
  12. Obligasi dan Sukuk Hijau RI Tembus Rp 36,4 T, Bos OJK Ungkap Ini . https://www.cnbcindonesia.com/market/20241008095333-17-577777/obligasi-dan-sukuk-hijau-ri-tembus-rp-364-t-bos-ojk-ungkap-ini. October 8, 2024.
  13. Yue Guan, D. Priyatno, A. Kamilah, Comparison Between Chinese E-Commerce Laws and Indonesian Information and Electronic Transactions Laws Against Cross-Border Online Services. International Journal of Scientific and Technology Research, 2019; 8(10): 3189-3194.
  14. Yue Guan, Eni Oktaviani. The Impact of Pancasila Ideology on Indonesian Law. Educational Research, 2022; 3(6): 304-305.
  15. Budiono Kusumohamidjojo. Teori Hukum – Dilema antara Hukum dan Kekuasaan. Penerbit Yrama Widya, Bandung, Indonesia, 2019, 113.

Queen Law Firm Membuka Cabang Baru di Jakarta

Pada tanggal 20 Januari 2025, Queen Law Firm yang terkenal mengumumkan pembukaan resmi cabang terbarunya di The Kensington Office Tower, yang berlokasi di distrik bisnis premium Jakarta. Langkah strategis ini bertujuan untuk melayani klien korporasi yang berkembang pesat sekaligus memperkuat posisi firma sebagai pemimpin di pasar jasa hukum.

Lokasi Strategis

The Kensington Office Tower, yang terletak di kawasan ramai Kelapa Gading di Jakarta Utara, merupakan gedung perkantoran modern yang ikonik. Lokasi strategis dan lingkungan bisnis premium ini telah menarik banyak perusahaan internasional dan lokal. Pemilihan lokasi ini untuk cabang baru mencerminkan komitmen firma terhadap layanan pelanggan berkualitas tinggi serta keyakinannya terhadap potensi pasar hukum Indonesia di masa depan.

Layanan Hukum yang Komprehensif

Cabang baru ini akan fokus memberikan berbagai layanan hukum kepada klien lokal dan internasional. Dr. Guan, mitra senior di firma ini, menyatakan: “Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus berlanjut dan meningkatnya investasi asing, kami merasa bertanggung jawab untuk menawarkan dukungan hukum yang lebih mudah diakses dan profesional kepada klien kami. Pembukaan cabang baru ini adalah respons proaktif kami terhadap kebutuhan tersebut.”

Prospek Masa Depan

Sejak didirikan, Queen Law Firm selalu berorientasi pada kebutuhan klien dan terus memperluas bidang layanannya. Pembukaan cabang baru di Jakarta menjadi tonggak sejarah perkembangan firma ini sekaligus menegaskan pertumbuhan industri hukum Indonesia yang stabil.

Firma ini berencana untuk terus memperluas kehadirannya di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang guna memperkuat posisi kepemimpinannya di industri dan membantu lebih banyak perusahaan serta individu untuk berhasil menghadapi lanskap hukum yang kompleks.